Halaman

Wikipedia

Hasil penelusuran

Trusty

Rabu, 10 Juni 2020

Konsep Berpikir Naturalisme

Naturalisme adalah sebutan bagi pandangan filososfis yang memberikan suatu peranan menentukan atau suatu peranan eksklusif pada alam. Naturalisme juga memiliki sifat hukum alam dengan ciri kualitatif dan kuantitatif. Ciri kualitatif yaitu suatu ciri yang melekat pada gejala alam dan muncul pada bebagai masa perkembangan alam. Sedangkan ciri kuantitatif merujuk pada kenyataan bahwa gejala alam memiliki besaran tertentu yang dapat dihitung dan dapat diukur secara sistematis.

Dalam naturalisme terdapat beberapa ajaran, antara lain; Monoistik, Antisupernaturalistik, Ilmiah, dan Humanistik. Monoistik mengajarkan bahwa alam adalah satu-satunya kenyataan. Alam adalah abadi, bekerja sendiri, memenuhi dirinya sendiri, bergantung pada dirinya sendiri. Alam tidak transenden. Alam tidak reinkarnasi.

Antisupernaturalistik mengajarkan semua gejala dapat dijelaskan berdasarkan hubungan yang inheren dari peristiwa-peristiwa alami. Tidak ada kenyataan kecuali proses dalam ruang dan waktu. Tidak ada sebab-sebab yang bukan alami. Alam memiliki strukturnya sendiri.

Ilmiah menunjukkan gejala-gejala alam dapat dijelaskan dengan meningkatkan metodologi ilmu dan pada prinsipnya dapat dijelaskan dengan metode-metode ilmiah. Pengetahuan dapat diperoleh dengan metodologi ilmu yang logis-empiris. Intuisi, pengalaman, mistik, kepercayaan, dan wahyu ditolak. 

Humanistik mengajarkan banyak manifestasi alami dari alam semesta kepada manusia. Kodrat etis dan estetis manusia memiliki dasar pada gejala-gejala alami. Nilai-nilai dibuat manusia berdasarkan keadaan alam. Nilai-nilai tidak memiliki sumber atau sanksi.

Kosmologi dianggap sebagai pendahulu ilmu pengetahuan alam. Kosmologi dalam mitologi Yunani sering disebut chaos diyakini sebagai makhluk hidup pertama. Para pemikir Ionia menolak keyakinan mistis tersebut, mereka mengatakan bahwa terdapat keteraturan dalam pergerakan alam yang memungkinkan manusia untuk mempelajari rahasia tersembunyi di dalamnya.

Berikut ini adalah cara berpikir dan bekerja filsafat naturalisme, salah satunya menuut Bakker, sekurang-kurangnya ada tiga metode penting.

Pertama, metode kritis membicarakan teori ilmiah filosofis dengan menyelidiki konsistensi intrinsik dengan teori ilmiah khusus dan menggunakan pengalaman hidup sehari-hari disertai teknis-teknis kritis.

Kedua, metode fenomenologi merefleksikan gejala hidup sehari-hari sejauh disadari oleh subyek. Di dalam fenomena yang terbatas dan tercatat diusahakan membaca sekali pengalaman asli dan fundamental yang tersembunyi di dalamnya.

Ketiga, metode transendental yang bertitik tolak dari fenomena manusiawi yang paling sental yaitu dari fakta kegiatannya.

Pendapat lain mengatakan bahwa urutan cara kerja ilmu alam adalah melalui pemikiran kemudian dilanjutkan dengan hipotesa, perluasan dan perincian hipotesa, dari hipotesa menuju hukum alam, dari hukum alam maka menghasilkan teori ilmiah. Pendapat tersebut dimungkinkan terjadi, sebab filsafat naturalisme merupakan pemikiran yang tidak bisa terlepaskan dari alam.

Filosof alam pertama Thales, mengatakan bahwa asal-usul alam adalah air. Karena air adalah unsur terpenting yang dibutuhkan makhluk hidup.

Sedangkan bagi Heraklitos, hal yang mendasar dari alam semesta adalah api. Api adalah aktor pengubah alam. Menurutnya bumi berisi api yang selalu menyala untuk mengembangkannya.

Pythagoras juga berpendapat bahwa bilangan adalah unsur utama sekaligus menjadi ukuran. Unsur-unsur bilangan itu adalah ganjil dan genap, terbatas dan tidak terbatas, serta semua yang berkaitan dengan ruang dan waktu.

Berbicara mengenai ilmu alam tidak lengkap rasanya jika hanya melihatnya dari sudut pandang naturalisme saja, maka agama hadir untuk menyajikan alam dalam konsep supranatural, konsep yang tidak dapat dijangkau oleh akal manusia, namun diyakini kebenarannya.

Ilmu pengetahuan mempunyai konsep fisik, maka agama mempunyai konsep metafisik. Kedua konsep tersebut terlihat saling bertentangan. Antara domain agama dan ilmu pengetahuan berdiri perspektif filosofis kosmologis metafisik. Bidang studi ini berupaya untuk menarik kesimpulan intuitif tentang sifat alam semesta, manusia, Tuhan, dan hubungan mereka berdasarkan pengalaman spiritual dan observasi.

Kalau seseorang hanya percaya pada campur tangan Tuhan (fatalisme), tanpa menghiraukan keteraturan alam, dia akan terjebak dalam determinisme teologis yang sempit. Sebaliknya, jika terlalu yakin dengan keuniversalan dan kepastian hukum alam, dia juga akan terjebak dalam determinisme naturalis yang sempit.

Aristoteles mengakui bahwa alam memiliki tujuan tertentu. Alam tercipta atas empat sebab; sebab materi, sebab formal, sebab efektif, dan sebab tujuan. Sebab materi dan sebab formal menyatu dala alam, sedangkan sebab efektif dan sebab tujuan berada di luar alam. Tuhan menurut Aristoteles adalah sebab efektif sekaligus sebab tujuan.

Hubungan antara hukum alam dan agama melahirkan aliran baru yang disebut dengan naturalisme keagamaan, aliran ini merupakan bentuk dari materialisme. Tuhan digambarkan sebagai proses alami yang menciptakan dan memelihaa nilai-nilai moral. Menurut alian ini alam adalah hidup, kreatif, dan proses perkembangan. Alam merupakan proses kosmik yang abadi.

Daftar Pustaka

Bagus, Lorens, Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005.
Bakhtiar, Amsal, Filsafat Agama. Jakarta: Rajawali Pers, 2009.
Liputo, Yuliani, Kamus Filsafat. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1995.
Mudhofir, Ali, Teori dan Aliran dalam Filsafat dan Teologi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1996.
Turnbull, Neil, Bengkel Ilmu Filsafat. (terj.) Daniel P. Purba. Jakarta: Penerbit Erlangga, 1999.

Rabu, 24 Agustus 2016

Rezeki Tak Sebatas Uang



Sungguh janji Allah itu nyata dan salah satu dari nikmat-nikmat yang dibrikan kepada ahli syukur adalah rezeki. Makna rezeki terkadang masih ada yang menyalah-artikan. Pandangan kita tentang rezeki terbatas pada uang semata. Padahal, rezeki dari Allah tidak sebatas uang.

Rezeki adalah semua rahmat Allah, seperti kesehatan, ketenangan, ilmu, keluarga yang bahagia, nama baik, pengaruh besar untuk mengajak pada kebaikan dan menolak keburukan, serta teman-teman yang selalu mengingatkan kepada kebaikan.

Itu semua akan Allah berikan kepada kita sebagai reward dari kebaikan-kebaikan yang telah kita lakukan. Salah satunya adalah kebaikan bersyukur. Namun, bukan berarti kita melakukan segala kebaikan untuk mendapatkan rezeki, hanya itu adalah konsekuensi alam yang kita terima setelah kita melakukan kebaikan. Minta ataupun tidak, kita tetap akan selalu mendapat rezeki jika kita termasuk dalam golongan yang bersyukur.

Dengan rezeki tersebut, kita bisa melakukan investasi kebaikan kepada Allah. Dalam dunia bisnis, uang bukanlah tujuan akhir, tapi karya yang lebih besar. Jadi rahasia terbesar seorang pebisnis adalah ia tidak pernah mencoba untuk mendapatkan uang. Baginya, lebih baik memerhatikan hasil akhir karyanya daripada uang.

Oleh karena itu, mari kita gunakan rezeki kita hanya untuk kebaikan, maka hasil yang didapat akan berlipat ganda. Semakin banyak rezeki yang kita gunakan untuk kebaikan, layaknya bola salju yang menggelinding, akan semakin besar pula nikmat yang akan Allah berikan.

Selasa, 28 Juni 2016

MIRIS

Miris. Satu kata yg mewakili masa depan bangsa ini. Entah siapa yg pertama kali harus disalahkan dan aspek mana saja yg perlu diperbaiki.

Pertama, bangsa ini selain dikenal dengan keramahannya, juga dikenal dengan korupsinya. Korupsi sudah menjadi rahasia umum bangsa ini mulai kalangan atas hingga rakyat jelata sudah melakukannya, meskipun dengan berbagai macam bentuknya.

Kedua, selain korupsi, masalah lain adalah narkoba. Mendengar namanya saja sudah menakutkan, apalagi pernah mengkonsumsinya. Sungguh tiada nikmat benda yang satu ini. Korbannya sudah menyebar ke seluruh penjuru bangsa, tidak hanya kalangan sipil, bahkan kalangan aparat dan pemerintahan menjadi obyek jajahannya. Sudah seharusnya hukuman mati dapat mengurangi gerak langkahnya.

Ketiga, tidakan asusila. Tindakan amoral ini akhir-akhir ini mengguncang pemberitaan di berbagai media. Bagaimana tidak, sudah banyak berjatuhan para korban dari tindakan ini. Korbannya sebagian besar adalah perempuan dan anak-anak. Kondisi mental dan kejiwaan mereka terguncang, dengan rasa emosi mereka berusaha menutup diri dan ingin mengakhiri hidupnya. Keberuntungan yang mereka miliki hanyalah masih diberikan kesempatan hidup, karena jika melihat kesadisan pelaku, banyak dari korban yang justru bernasib nahas. Mereka ada yang dibunuh, mayatnya dibuang dan ditelantarkan.

Sungguh saya berharap mimpi buruk ini segera berakhir. Bahwa ketiga contoh di atas hanya sekelumit masalah yang sebenarnya menyimpan banyak masalah-masalah lain. Ibarat fenomena gunung es, masalah ini sulit dipecahkan. Akan banyak sisi yang terlibat untuk mencairkannya.

Jika dilihat dari sudut pandang filsafat, maka cara yang paling ampuh adalah dari diri sendiri. Tentang bagaimana kita menyerap informasi, memilih pergaulan yang positif, dan tidak mudah terprovokasi. Sebagaimana yang dikatakan Thomas Hobbes, Homo Homini Lupus, bahwa manusia adalah serigala bagi manusia yang lain. Dalam arti sempit bahwa meskipun orang lain adalah teman, namun di dalam rayuannya tersimpan anjuran yang menjerumuskan.

Selain diri sendiri, keluarga adalah pandidikan pertama seorang anak. Dari hadits diriwayatkan, Dari Abu Hurairah r.a. berkata, Rasulullah SAW. bersabda,"Tidak ada dari seorang anak (Adam) melainkan dilahirkan atas fitrah (Islam), maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya beragama Yahudi atau Nasrani atau Majusi. Bagaikan seekor binatang yang melahirkan seekor anak. Bagaimana pendapatmu, apakah didapati kekurangran? (HR Muttafaq Alaih)

To be continued...

Rabu, 27 April 2016

Faqr ala Tukang Parkir

al-Faqr adalah sebuah sikap spiritual yang memandang bahwa kita tidak merasa memiliki apa-apa; semuanya milik Allah. sampai terhadap diri kita sendiripun kita tidak merasa memiliki. Meskipun secara kasat mata kekayaan milik kita itu tampak nyata, namun bagaimanapun juga tidak diperbolehkan untuk mengakuinya sebagai sesuatu miliknya yang disebabkan oleh usahanya, sebab semua itu dari Allah dan kembali ke Allah.

Abu Muhammad Al-Jurairi berkata, "Kefakiran berarti bahwa orang tidak boleh mencari yang tidak maujud, sampai orang itu gagal menemukan hal yang maujud." Maksudnya adalah bahwa orang tidak boleh mencari mata pencaharian kecuali jika orang itu khawatir tidak mampu melaksanakan tugas keagamaannya. Ibn Jalla' berkata, "Kefakiran adalah bahwa tidak ada sesuatu yang menjadi milikmu; atau jika memang ada sesuatu, itu tidak boleh menjadi milikmu."

Al-Kattani berkata, "Kalau seseorang benar-benar membutuhkan Tuhan, berarti dia benar-benar bersama Tuhan; karena tidak satupun dari dua keadaan itu sempurna oleh ketiadaan salah satunya." Al-Nurri berkata, "Faqr adalah orang yang harus diam ketika dia tidak memiliki sesuatu dan bermurah hati serta tidak memikirkan diri sendiri kalau dia memiliki sesuatu."

Dengan begitu ada kesadaran spiritual, bahwa manusia pada hakikatnya tidak mampu melakukan apa-apa tanpa ada kehendak Sang Kuasa. Sebagaimana halnya dengan firman Allah Q.S. Muhammad: 38, sebagai berikut:
هَا أَنْتُمْ هَٰؤُلَاءِ تُدْعَوْنَ لِتُنْفِقُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَمِنْكُمْ مَنْ يَبْخَلُ ۖ وَمَنْ يَبْخَلْ فَإِنَّمَا يَبْخَلُ عَنْ نَفْسِهِ ۚ وَاللَّهُ الْغَنِيُّ وَأَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ ۚ وَإِنْ تَتَوَلَّوْا يَسْتَبْدِلْ قَوْمًا غَيْرَكُمْ ثُمَّ لَا يَكُونُوا أَمْثَالَكُمْ
38. Ingatlah, kamu ini orang-orang yang diajak untuk menafkahkan (hartamu) pada jalan Allah. Maka di antara kamu ada yang kikir, dan siapa yang kikir sesungguhnya dia hanyalah kikir terhadap dirinya sendiri. Dan Allah-lah yang Maha Kaya sedangkan kamulah orang-orang yang berkehendak (kepada-Nya); dan jika kamu berpaling niscaya dia akan mengganti (kamu) dengan kaum yang lain; dan mereka tidak akan seperti kamu ini.

Suatu ketika seseorang bertanya kepada Dzu Al-Nun Al-Misri tentang orang yang memiliki kemiskinan ruhani sesungguhnya (al-Faqr), maka dia menjawab, "Orang faqr yang sebenarnya adalah orang yang tidak bisa menaruh kepercayaan kepada segala sesuatu, tetapi sebaliknya, segala sesuatu akan menaruh kepadanya." Seseorang juga bertanya kepada Abu 'Abd Allah Al-Maghribi tentang seorang faqr yang sebenarnya, maka dia menjawab, "Dialah orang yang tidak memiliki sesuatu dan dia juga tidak dimiliki oleh segala sesuatu." Abu Al-Harust Al-Aulasi juga pernah ditanya tenteng pertanyaan yang sama, maka dia menjawab, "Orang faqr yang sebenarnya adalah yang tidak dekat dengan sesuatu, sementara segala sesuatu dekat dengannya." Berbeda dengan jawaban Yusuf ibn Al-Husain, yang mengatakan bahwa, "Orang faqr adalah orang yang memerhatikan waktu ruhaninya secara serius. Jika dia masih melihat ke waktu kedua, dia belum bisa disebut faqr." 

Ada juga Husain Ibn Manshur (Al-Hallaj) menjawab, "Faqr yang sebenarnya adalah orang yang tidak memilih keadaan hidupnya dengan suatu pandangan untuk mengamankan kepuasaannya sendiri." Abu Hafsh Al-Naisaburi juga mengatakan bahwa, "Seorang faqr yang sebenarnya adalah orang yang tetap dalam pengendalian di setiap waktunya. Dan jika ada satu hal yang menyeretnya serta akan mengeluarkannya dari pengendalian waktu spiritualnya, dia menemukan kegelisahan." Al-Junaid berkata, "Orang faqr yang sebenarnya adalah orang yang tidak merasa cukup dengan sesuatu, tetapi segala sesuatu merasa cukup dengannya."

Tetapi sebagian guru sufi memandangnya sebagai salah satu maqam, kadang-kadang disebutkan sebelum tahap kepuasan dan kadang-kadang setelahnya. Orang harus menyadari sepenuhnya kebenaran ayat al-Quran bahwa Allah itu Maha Kaya dan manusia miskin, bahwa secara ontologis Dia adalah Wujud Mutlak sementara kita tidak ada apa-apanya di dalam diri kita sendiri, karena kita menerima eksistensi kita dari Allah Dari satu sudut pandang, kita harus mencapai kedudukan faqr agar dapat meraih tahapan kepuasan. Dari sudut pandang yang lain, kita harus berjalan melalui semua tahapan yang telah merealisasi dalam diri faqr. Sinkatnya, faqr adalah pintu gerbang bagi Cinta Ilahi maupun Pengetahuan Ilahi.

Maqam faqr merupqkqn sikap dan perilaku yang harus tertanam pada diri pelaku tasawuf, sebagai kesediaan tidak mau dipengaruhi oleh pemikiran harta kekayaan yang banyak, tetapi sekedar bisa digunakan untuk memperlancar ibadah kepada Allah dan berbakti kepada sesama makhluk. Faqr yang dimaksud adalah bukan kemelaratan yang mengakibatkan seseorang sama sekali tidak berdaya untuk hidup dan beribadah, tetapi dimaksudkan sebagai kebutuhan terhadap Allah semata, dan tidak membutuhkan sesuatu di luar ketentuan-Nya, sehingga sikapnya tidak terlalu sibuk mencari kekayaan, karena sikapnya selalu dilandasi dengan sikap qana'ah.

Faqr dalam diri manusia-manusia pemilik hakikat (haqiqah) adalah sebuah sifat alami yang--meskipun memiliki harta ataupun tidak memiliki harta--tidak berubah. Karena seorang hakikat, melihat segala sesuatu dengan sarananya dalam kekuasaan Allah, maka ia memadang bahwa menyerahkan harta kepada orang lain adalah diperbolehkan. 

Sehingga dalam diri seorang faqr, bisa dianalogikan seperti tukang parkir. Dalam kondisi nyata mereka punya, tapi mereka tidak merasa memiliki, karena semuanya selalu dikembalikan kepada Allah. Allah sebagai Maha Kaya dan manusia adalah miskin, mereka selalu berusaha menjadi miskin di hadapan Allah. Jadi, dalam kondisi apapun, seorang faqr tidak merasa kaya atau miskin, karena bagi mereka semuanya tidak berbeda. 

Dengan melakukan faqr, manusia menjadi sadar diri atas apa yang dimiliki bukan kepemilikannya. Meskipun dia bekerja dan memiliki harta. Dengan faqr, manusia diajarkan untuk tidak sombong dan angkuh atas semua kekayaan yang dimiliki.

Rabu, 13 April 2016

Insan Kamil ala Superman

Teringat masa kecil dulu ketika banyak tontonan televisi tentang bermacam-macam superhero (pahlawan super). Sebagaimana telah kita ketahui bersama bahwa sosok Superman adalah superhero yang berbeda dengan seperhero yang lainnya. Ketika superhero yang lain, katakanlah seperti Spiderman dan Batman, tampil ke hadapan publik dengan mengenakan topeng atau penutup wajah, dengan tujuan menyembunyikan identitas mereka. Tapi itu tidak berlaku bagi Superman, dengan terang-terangan dia menampakkan wajah aslinya tanpa sehelai kainpun menutupi wajahnya. Dapat dikatakan bahwa Superman adalah superhero yang jujur, percaya diri, dan sedikit narsis dari superhero yang lain.

Beranjak dewasa, pikiran berkembang ke arah yang lain. Selalu ada tanya untuk setiap adegan superhero yang dipertunjukkan. Mengapa? Bagaimana? dan Untuk apa?

Saat terdiam, pikiranku berkhayal untuk mengarahkan sosok Superman sebagai manusia yg sempurna, atau dalam tasawuf disebut dengan Insan Kamil. Insan kamil berasal dari bahasa Arab, yaitu dua kata: Insan dan Kamil. Secara harfiah Insan berarti manusia dan Kamil berarti yang sempurna. Dengan demikian, Insan Kamil berarti manusia yang sempurna.

Selanjutnya kata insan digunakan oleh para filosof klasik sebagai kata yang menunjukkan pada arti manusia secara totalitas yang secara langsung mengarah pada hakikat manusia. Kata insan juga digunakan untuk menunjukkan pada arti terkumpulnya seluruh potensi intelektual, rohani, dan fisik yang ada pada manusia, seperti hidup, sifat kehewanan, berkata-kata, dan sebagainya.

Adapun kata kamil dapat pula berarti suatu keadaan yang sempurna dan digunakan untuk menunjukkan pada sempurnanya zat dan sifat, dan hal itu terjadi melalui terkumpulnya sejumlah potensi dan kelengkapan seperti ilmu dan sekalian sifat yang baik lainnya.

Fungsi akal secara optimal dapat dijumpai pada pendapat kaum Muktazilah. Menurutnya manusia yang akalnya berfungsi secara optimal dapat mengetahui bahwa segala perbuatan baik sesuai dengan essensinya dan merasa wajib melakukan semua itu walaupun tidak diperintahkan oleh wahyu. Manusia yang berfungsi akalnya sudah merasa wajib melakukan perbuatan yang baik. Maka manusia yang seperti ini mendekati Insan kamil. Dengan demikian insan kamil akalnya dapat mengenali perbuatan yang baik dan perbuatan buruk karena hal itu telah terkandung pada essensi perbuatan tersebut.

Insan kamil dapat dicirikan dengan berfungsinya intuisi yang ada dalam dirinya. Intuisi ini dalam pandangan Ibn Sina disebuut sebagai jiwa manusia (rasional soul). Menurutnya jika yang berpengaruh dalam diri manusia adalah jiwa manusianya, maka orang itu hampir menyerupai malaikat dan mendekati kesempurnaan.

Insan kamil juga mampu menciptakan budaya. Manusia yang sempurna adalah manusia yang mampu mendayagunakan seluruh potensi rohaniahnya secara optimal. Menurut Ibn Khaldun manusia adalah makhluk berfikir. Sifat-sifat semacam ini tidak dimiliki oleh makhluk lainnya. Lewat kemampuan berfikirnya itu, manusia tidak hanya membuat kehidupannya, tetapi juga menaruh perhatian terhadap berbagai cara guna memperoleh  makna hidup. Proses-proses semacam ini melahirkan peradaban.

Insan kamil menghiasi diri mereka dengan sifat-sifat Ketuhanan. Karena manusia adalah makhluk mempunyai naluri-naluri Ketuhanan (fitrah). Ia cenderung kepada hal-hal yang berasal dari Tuhan dan mengimaninya. Sebagai Khalifah (wakil Tuhan di muka bumi), manusia berusaha menentukan nasibnya sendiri, baik sebagai individu atau kelompok masyarakat yang memiliki tanggung jawab besar dan memiliki kehendak bebas.

Insan kamil juga manusia yang berakhlak mulia. Menurut Ali Syariati ada tiga aspek yang mendasarinya, yaitu: kebenaran, kebajikan, dan keindahan. Yang dapat dicapai dengan kesadaran, kemerdekaan, dan kreativitas. Insan kamil dengan kemampuan otaknya mampu menciptakan peradaban yang tinggi dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Serta mempunyai kepekaan terhadap penderitaan, kemiskinan, kebodohan, dan kelemahan.

Beberapa ciri tersebut mendekati dari beberapa sifat dan perbuatan yang dilakukan Superman, hanya saja Superman dikemas seakan-akan jauh dari sisi tasawuf, bahwa Superman mengklaim memiliki sifatnya sendiri tanpa harus melihat dari sisi kemanusiaan di dalam insan kamil. Meskipun kebanyakan orang menilai bahwa Superman bukan Insan kamil, namun bagi saya, apa yang ditunjukkan Superman dalam filmnya tidak jauh dari sifat yang diajarkan dalam insan kamil.

Begitulah kurang lebih pengamatan saya terhadap Superman dari sisi Insan kamil. Melihat siapa meniru siapa sebaiknya tidak saling menyalahkan, karena apa yng disajikan adalah baik. Keduanya, Superman dan Insan kamil sama-sama mengajarkan tentang kebaikan.  


Pemikiran Tasawuf Falsafi Abu Yazid Al-Bustami: Ittihad


Nama lengkapnya adalah Abu Yazid Thaifur bin ‘Isa bin Surusyan al-Bustami, lahir di daerah Bustam (Persia) tahun 874 – 947 M. nama kecilnya adalah Thaifur (atau secara singkat dipanggil dengan sebutan Bayazid). Kakeknya bernama Surusyan, seorang penganut agama Zoroaster (Majusi), kemudian masuk dan memeluk agama Islam di Bustam. Keluarga Abu Yazid termasuk berada di daerahnya, tetapi ia lebih memilih hidup sederhana. Sejak dalam kandungan ibunya, konon kabarnya Abu Yazid telah mempunyai kelainan. Ibunya berkata bahwa ketika dalam perutnya, Abu Yazid akan memberontak sehingga ibunya muntah kalau menyantap makanan yang diragukan kehalalannya.
Sewaktu meningkat usia remaja, Abu Yazid terkenal sebagai murid yang pandai dan seorang anak yang patuh mengikuti perintah agama dan berbakti kepada orang tuanya. Suatu kali gurunya menerangkan suatu ayat dari al-Qur’an Surat Luqman yang berbunyi : “Berterima kasihlah kepada Aku dan kepada kedua orang tuamu”. Ayat ini sangat menggetarkan hati Abu Yazid. Ia kemudian berhenti belajar dan pulang untuk menemui ibunya. Sikapnya ini menggambarkan bahwa ia selalu berusaha memenuhi setiap panggilan Allah.
Perjalanan Abu Yazid untuk menjadi seorang sufi memakan waktu puluhan tahun. Sebelum membuktikan dirinya sebagai seorang sufi, ia terlebih dahulu menjadi seorang faqih dari Mazhab Hanafi. Salah seorang gurunya yang terkenal adalah Abu Ali As-Sindi. Ia mengajarkan ilmu tauhid, ilmu hakikat, dan ilmu lainnya kepada Abu Yazid. Hanya saja ajaran sufi Abu Yazid tidak ditemukan dalam buku.
Dalam menjalani kehidupan zuhud selama 13 tahun, Abu Yazid mengembara di gurun-gurun pasir di Syam, hanya dengan tidur, makan, dan minum yang sedikit sekali.

Ittihad adalah tahapan selanjutnya yang dialami seorang sufi setelah ia menempuhi tahapan fana’ dan baqa’. Hanya saja dalam literatur klasik, pembahasan tentang ittihad ini tidak ditemukan apakah karena pertimbangan keselamatan jiwa ataukah ajaran ini sangat sulit dipraktekkan merupakan pertanyaan yang sangat baik untuk dianalisis lebih lanjut. Namun, menurut Harun Nasution uraian tentang ittihad banyak terdapat di dalam buku karangan orientalis.
Dalam tahapan ittihad, seorang sufi bersatu dengan Tuhan, antara yang mencintai dan yang dicintai menyatu, baik substansi maupun perbuatannya. Dalam ittihad identitas telah hilang dan identitas menjadi satu. Sufi yang bersangkutan, karena fana-nya tak mempunyai kesadaran lagi dan berbicara dengan nama Tuhan.
Al-Bustami dipandang sebagai sufi pertama yang menimbulkan ajaran fana dan baqa’ untuk mencapai ittihad dengan Tuhan.
Pengalaman kedekatan Abu Yazid dengan Tuhan hingga mencapai ittihad disampaikannya dalam ungkapan “pada suatu ketika aku dinaikkan kehadirat Tuhan, lalu Ia berkata: “Abu Yazid, makhluk-makhluk-Ku sangat ingin memandangmu. Aku menjawab: “Kekasihku, aku tak ingin melihat mereka. Tetapi jika itu kehendak-Mu, maka aku tak berdaya untuk menentang-Mu. Hiasilah aku dengan keesaan-Mu, sehingga jika makhluk-makhluk-Mu memandangku, mereka akan berkata: Kami telah melihat-Mu. Engkaulah itu yang mereka lihat, dan aku tidak berada di hadapan mereka itu.Puncak pengalaman kesufian al-Bustami dalam ittihad juga tergambar dalam ungkapan berikut: “Tuhan berkata, Abu Yazid, mereka semua kecuali engkau adalah makhluk-Ku. Akupun berkata, aku adalah Engkau. Engkau adalah aku, dan aku adalah Engkau.”
Terputus munajat. Kata menjadi satu, bahkan semuanya menjadi satu. Tuhan berkata kepadaku, Hai engkau. Aku dengan perantaraan-Nya menjawab, Hai aku. Ia berkata, “Engkaulah yang satu. Aku menjawab, akulah yang satu. Ia berkata, Engkau adalah engkau. Aku menjawab, aku adalah aku.”Dalam ittihad kelihatannya lidah berbicara melalui lisan Al Bustami. Ia tidaklah mengaku dirinya Tuhan, meskipun pada lahirnya ia berkata demikian.
Suatu ketika seorang melewati rumah Abu Yazid dan mengetuk pintu. Abu Yazid bertanya, “Siapa yang engkau cari?” Orang itu menjawab. “Abu Yazid”. Abu Yazid berkata, “Pergilah, di rumahmu ini tidak ada, kecuali Allah Yang Maha Kuasa dan Maha Tinggi. Ucapan-ucapan Abu Yazid di atas kalau diperhatikan secara sepintas memberikan kesan bahwa ia syirik kepada Allah. Oleh karena itu, dalam sejarah ada sufi yang ditangkap dan dipenjarakan karena ucapannya membingungkan golongan awam.[1]
Sebenarnya, apa yang dikatakan oleh Abu Yazid, tidak berarti ia sebagai Tuhan, tetapi kata-kata itu adalah suara Tuhan yang disalurkan melalui lidah Abu Yazid yang sedang dalam keadaan fana’an nafs.
Abu Yazid tidak mengakui dirinya sebagai Tuhan seperti Fir’aun. Proses Ittihad di sisi Abu Yazid adalah naiknya jiwa manusia ke hadirat Allah, bukan melalui reinkarnasi, sirnanya segala sesuatu dari kesadaran dan pandangannya yang disadari dan dilihat hanya hakikat yang satu, yakni Allah. Bahkan, dia tidak melihat dan menyadari dirinya sendiri, karena dirinya terlebur dalam dia yang dilihat.
Jadi sebenarnya Abu Yazid tidaklah mengaku dirinya sebagai Tuhan, namun perkataannya menimbulkan berbagai tanggapan. At-Thusi mengatakan: Ucapan ganjil (al-Syaht) adalah ungkapan yang ditafsirkan lidah atas limpahan intuisi dari dalam relung hatinya dan dibarengi seruan. Seorang Sufi yang sedang sakaw tidak bisa mengendalikan apa yang bergejolak dalam qalbunya dan membuat seseorang mengungkapkan mengungkapkan kata-kata yang sulit dipahami oleh pendengarnya. Oleh sebab itu, menurut at-Thusi, bila seorang sufi sedang Fana’ dari hal-hal yang berkenaan dengan dirinya, bukan berarti ia kehilangan sifat-sifat basyariahnya sebab sift itu tidak dapat sirna dari diri manusia. Akan sangat berbahaya dari keyakinan seorang muslim jika menganggap kefana’an adalah kefana’an sifat-sifat manusia dan ia bersifatkan sifat-sifat ketuhanan.[2]
Terlepas dari semua itu, hal yang paling utama dan mungkin bisa membebaskan Abu Yazid dari justifikasi negatif yang ditimpakan padanya adalah bahwa ungkapan Syatahat itu hanya muncul ketika Abu Yazid sedang dalam keadaan “mabuk ilahi”; tidak sadar dan terjebak dalam situasi fana’. Karena itu, tidaklah salah jika Abu Yazid dikenal sebagai sufi pertama yang berhasil mengoperasikan gagasan fana’ dalam sistematika ajaran tasawufnya.[3]
Sejauh yang tampak dari ucapan eksperimental itu, terlibat fase bertahap yang dialami Abu Yazid dalam upayanya mencari Allah. Akan tetapi yang paling dramatis adalah beritanya yang menyebutkan jika ia sudah pernah terbang tinggi (Mi’raj) menuju keharibaan Allah. Mengenai hal yang satu ini, Abu Yazid adalah sufi pertama yang memvisualisasikan pengalaman spiritualnya dalam tajuk mi’raj, yakni sebuah perjalanan surgawi yang dahulu juga pernah dilakukan Nabi Muhammad.[4]
Diceritakan Abu Yazid telah mengarungi tujuh tingkatan surga, menolak segala tawaran hadiah yang ada di dalamnya, dan hanya berkeinginan untuk bertemu Allah SWT. Ia mengutarakan pengalamannya ini: “... dan ketika Allah sepenuhnya mengetahui ketulusanku bahwa aku hanya ingin bertemu dengan-Nya, maka ia memanggilku, “Mari, datanglah mendekat pada-Ku. Lihatlah dataran kemuliaan-Ku dan area cahaya-Ku. Duduklah di atas karpet kesucian-Ku sampai kau melihat lembutnya ke-Akuan-Ku. Kamu adalah pilihan-Ku, kekasih-Ku, dan ciptaan-Ku yang paling bagus”. Mendengar perkataan-Nya itu, aku merasa seakan-akan meleleh seperti timah yang sedang mencair. Lantas Dia memberiku minuman dari mata air kasih sayang-Nya dalam sebuah cangkir keakraban. Lalu membawaku ke dalam kedaan yang tidak bisa ku gambarkan. Dia membawaku mendekat kepada-Nya, sangat dekat; hingga lebih dekat daripada jiwa dengan sebatang tubuh”.[5]
Pengalaman mi’raj ini dijadikan Abu Yazid sebagai sufi yang paling unik dan eksentrik untuk ukuran masanya, bahkan sesudahnya. Bersamaan dengan hal itu, puncak dari segala kontroversial Abu Yazid tentu saja adalah keluarnya sejumlah syatahat dari mulutnya. Sejumlah kalangan kemudian mengidentifikasi ucapan-ucapan ekstase Abu Yazid sebagai bentuk persatuan (Ittihad) antara Abu Yazid dengan Tuhan.
Abu Yazid dilaporkan pernah berkisah; Di suatu kesempatan, Ia mengangkatku ke atas, menempatkanku di depan-Nya, dan berkata kepadaku: “Wahai Abu Yazid, makhluk ciptaan-Ku pasti akan senang untuk mencarimu.” Lalu aku berkata: “Hiasilah aku dengan sifat tunggal-Mu (Wahdaniyah), pakaianilah aku dengan subjektifitas-Mu (Ananiyah), dan bawalah aku menuju keesaan-Mu (Ahadiyah), sampai kelak ketika ciptaan-Mu melihatku, maka mereka akan berkata, “Kami sudah melihatmu,” padahal Engkaulah yang ada di situ, dan aku tidak berada dihadapan mereka”.[6]
Atau sebagaimana yang terjadi di lain waktu, tentang Abu Yazid yang sedang kedatangan tamu. “Seseorang mendatangi Abu Yazid dan mengetuk pintu rumahnya. Abu Yazid bertanya, “Siapakah yang hendak kau cari?” Orang itu menjawab, “Abu Yazid”. Abu Yazid lantas menyahut, “Pergilah, di rumah ini tidak ada Abu Yazid; yang ada dalam jubah ini hanyalah Allah SWT.[7]
Ia juga berkata; “Maha suci aku, Maha suci aku (Subhani, Subhani) alangkah agungnya kebesaranku. Sesungguhnya aku adalah Allah, tidak ada lagi Tuhan selain aku; maka menyembahlah kepadaku”.[8]
Abu Yazid juga memberikan pesan tentang kedudukan fana’; “Tidak ada hal yang lebih baik bagi seorang manusia daripada menjadi ‘tidak ada’, tanpa asketisme, tanpa teori, dan tanpa praktek. Ketika seseorang tanpa semuanya, maka sebenarnya ia dengan semuanya.”
“Makhluk hanyalah sebuah subjek menuju keadaan, tapi orang yang memilih menjadi gnostik tidaklah memiliki keadaan, sebab bekasnya telah terhapus dan indivualitanya sudah melebur dalam individualitas yang lain. Jejaknya juga ditutupi dengan jejak yang lain.”[9]
Sepertinya sudah ada hal yang lumrah bila syatahat itu kemudian hanya bisa terjadi pada sufi yang sudah tidak mengenali dirinya sendiri. Abu Yazid bisa sampai pada ‘stasiun’ ini dikarenakan ia telah melenyapkan dirinya hingga untuk sementara waktu ia sanggup mencapai dunia kesatuan antara dia dengan Allah. Kesatuan yang dialaminya tentu hanya bersifat rohaniah semata.
Seseorang yang dalam keadaan tidak sadar tentu tidak bisa dikenakan hukum atas segala perkataannya. Ketidak sadaran atau fana’ menjadi basis yang sangat penting dalam memahami kemunculan syatahat sehingga substansi kekontroversialannya sebetulnya bermuara dari ketidakmampuan seorang sufi untuk mengedalikan dirinya, karena dirinya tersebut telah menjadi tidak ada. Kondisi ini sering diiliustraasikan dengan air yang bervolume banyak, tetapi mengalir dalam sungai yang sempit. Sebagai efeknya tentu terjadi luapan air yang menggenang ke sejumlah tempat.[10]
Akibat ini pula, terdapat penafsiran lain yang menilai keluarnya syatahat itu bukanlah ucapan Abu Yazid sendiri, melainkan sabda Allah yang disuarakan melalui perantara lidah Abu Yazid.
Abu Yazid telah mempraktekkan hampir 35 tahun untuk bersikap zuhud dan belajar membumi-hanguskan kepribadiannya. Layaknya seekor ular yang melepaskan kulit luarnya, sehingga yang tersisa seakan-akan yang tersisa dalam dirinya hanyalah pengaruh Tuhan yang senantiasa menggerak-gerakkan kadar kemauannya.
Sufi yang mengeluarkan syatahat adalah ibarat sebuah terompet yang sedang ditiup oleh nafas Tuhan; Tuhanlah yang memainkan nada-Nya sendiri. Saat Abu Yazid berteriak, Subhani; maka hal itu merupakan perkataan Tuhan melalui dirinya.[11] Sampainya rasa bersatu dengan Tuhan agaknya menjadi perhatian khusus tatkala sebagian kalangan menganggap kondisi seperti itu adalah puncak dari segala perjalanan spiritual. Lebih menakjubkan lagi bila memperhatikan maqam fana’ yang dialami Abu Yazid sehingga sanggup terbang menuju keharibaan Tuhan.[12]
Sewaktu timbulnya ucapan syatahat, di samping terjadi dalam keadaan tidak sadar (fana’), Abu Yazid pada dasarnya tidak berkenaan terhadap munculnya ucapan-ucapan eksentrik seperti itu; sebab ada juga riwayat yang menyebutkan ketika ia menyadari apa-apa yang diucapkannya itu, Abu Yazid lantas beristighfar sebanyak-banyaknya. Abu Yazid terjebak dalam situasi itu dikarenakan penyaksiannya yang kuat pada Tuhan Yang Maha Agung dan tidak ada sesuatu yang dilihatnya selain Tuhan.
Pada hakikatnya, semua yang dialami Abu Yazid itu hanyalah sebagian dari karunia yang diberikan Allah, seperti yang tersirat dalam pengakuannya, “Aku memahami Tuhan berkat Tuhan, dan aku memahami sesuatu selain Tuhan berkat cahaya (Nur) yang dipancarkan Tuhan.
Puncak drama dari akhir kehidupan Abu Yazid adalah perubahan pola dan sikap misktik Abu Yazud yang tidak lagi bisa dikategorikan pada arus kelompok ’sufi mabuk’ (sukr); tidak juga menganggap petualang teofaniknya sebagai legenda yang paling agung.[13]



[1]. A. Bachrun Rif’i dan H. Hasan Mud’is, Filsafat Tasawuf, ...,  hlm. 340.
[3]. Aun Falestien Faletehan, Tasawuf Falsafi Persia di Masa Klasik Islam, (Surabaya: Dakwah Digital Press, 2007), hlm. 101.
[4]. Aun Falestien Faletehan, Tasawuf ..., hlm. 97.
[5]. Aun Falestien Faletehan, Tasawuf..., hlm. 98.
[6]. Ibid., hlm 99.
[7]. Ibid., hlm 99.
[8]. Ibid., hlm. 100.
[9]. Ibid., hlm. 103.
[10]. Ibid., 104.
[11]. Ibid., hlm 105 – 106.
[12]. Ibid., hlm 106.
[13]. Ibid., hlm. 110.

Sabtu, 23 Mei 2015

Dekonstruksi Syari'ah dalam Ajaran Tasawuf Syekh Siti Jenar

Sebenarnya banyak terdapat pebedaan tentang asal usul dari Siti Jenar, akan tetapi yang paling banyak ditulis ialah Syekh Siti Jenar lahir sekitar tahun 1426 M di Pakuwuan, Caruban, pusat kota Caruban Larang waktu itu, yang sekarang lebih dikenal sebagai Astana Japura, sebelah tenggara Kota Cirebon. Suatu lingkungan yang terdapat berbagai macam etnis masyarakat, berbagai macam bahasanya dan sebagai titik temu kebudayaan serta peradaban berbagai macam suku.

Sebelum kelahiran Siti Jenar terdapat sedikit cerita tentang keadaan keluarganya kala itu. Ayah Siti Jenar seorang pendeta Hindu yang memerintah Caruban —Cirebon sekarang— yang bernama Resi Bungsu. Resi Bungsu kala itu resah, meski dia telah dilengkapi dengan kekayaan dan kedudukan akan tetapi hal tersebut tidaklah berarti jika dia tidak mempunyai keturunan. Siang malam dia mengucapakan do’anya kepa Sang Hyang Widi agar keinginannya dikabulkan.

Singkatnya Resi Bungsu pergi kesuatu tempat untuk melakukan semedi empat puluh hari empat puluh malam di sebuah sebuah bukit yang di tepi danau yang airnya bening dan didalamnya terdapat banyak ikan. Setelah malam ke empat puluh sang Resi mendapatkan bisikan gaib —ilham— yang berisikan kalau dia ingin memiliki seorang putra maka bawalah ikan yang ada didepannya dan berikan pada istrinya untuk dimakan. Setelah itu Resi Bungsu kembali ke istana sembari membawa ikan tersebut untuk istrinya.

Sesampainya ia di istana, ia memberikan ikan yang dibawanya dan juga menceritakan kejadian yang ia alami selama ia semedi di danau tersebut. Kemudian setiap hari sang Resi pergi ke danau itu untuk mengambil ikan untuk diberikan pada istrinya untuk makanannya setiap hari. Setelah hampir empat puluh hari istrinya selalu memakan ikan yang ia ambil dari danau tersebut, terjadi perubahan pada badan istrinya. Alhasil istrinya pun hamil.

Setelah selama sembilan bulan kehamilan istrinya lahirlah seorang bayi laki-laki. Dengan perasaan yang berbunga-bunga bayi itu di timang dan dinyanyikan dengan tembang-tembang yang mengandung harapan di masa depan. Bayi itu diberi nama Ali Hasan. Kenapa bayi itu diberi nama yang kearab-araban, padahal Resi Bungsu kala itu beragama Hindu. Hal tersebut tidak ada yang tahu, dan merupakan sebuah misteri. Seperti pemiliknya yang nantinya juga memiliki berjuta misteri.

Setiap ajaran agama selalu memiliki dua sisi, yaitu sisi esoteris dan sisi eksoteris. Esoteris melambangkan sisi jiwa dan eksoteris mengibaratkan raga. Keduanya merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Dalam bahasa agama, sisi esoteris di ibaratkan sebagai hakikat, sedangkan eksoteris merupakan gambaran dari syari’at. Sisi ajaran hakikat lebih banyak mengupas tentang hubungan moral antara manusia dengan dirinya sendiri, sesama, makhluk lain, alam semesta dan Allah. Sedangkan sisi syari’at lebih mengedepankan segi doktrin, ucapan, ritual, simbol, aturan, dan praktik formal keagamman yang bersifat luar.

Siti Jenar pada awal mulanya diberi tugas para dewan wali untuk mengajarkan sahadat dan tauhid pada masyarakat awam. Tetapi seringkali prilaku Siti Jenar berbeda dari wali lainnya. Pengaruh ilmu tasawuf yang ia pelajari dari Baghdad begitu kuat sehingga ia tidak begitu tertarik dengan ilmu syari’at. Ia lebih mendekatkan pada ilmu hakikat. Siti Jenar selalu menggali hakikat kebenaran, hakikat diri sebagai manusia serta hakikat ketuhanan. Ibadah syari’at baginya tidaklah cukup untuk mencapai Allah. Karena itu manusia memerlukan tasawuf untuk bisa sampai pada Allah.

Banyak orang yang secara lahiriah tampak khusuk shalatnya —sebagai contoh kecil. Bibirnya sibuk mengucapkan zikir dan doa-doa, namun hatinya berkeliaran dalam urusan duniawi mereka. Islam yang demikian ini ibarat kelapa, mereka hanya makan serabutnya. Padahal yang paling nikmat adalah buah kelapa dan air kelapanya. Mereka sembahyang lima waktu sebatas lahiriah saja. Tidak berpengaruh sama sekali kepada akal budinya. Padahal sembahyang itu diharapkan dapat mencegah keji dan munkar namun mereka tak mampu melakukannya dalam kehidupan sehari-hari. Kalaupun hakikat shalatnya itu membekas pada budinya itupun hanya sedikit. Buat apa sembahyang lima kali jika perangainya buruk, masih suka mencuri dan berbohong. Untuk apa bibir lelah berzikir menyebut asma Allah, jika masih berwatak suka mengingkari asma. Kadang-kadang pula mereka berharap pahala. Shalatnya saja belum tentu dihargai oleh Allah, tetapi buru-buru meminta balasan, bukankah hal tersebut aneh sekali.

Hadits Rasulullah yang menyebutkan bahwa amal hamba yang pertama kali diperhitungkan adalah sembahyang. Jika sembahyangnya baik, maka semua dianggap baik. Tidak boleh dipahami secara dangkal makna dari hadits tersebut. Hadits itu mengandung logika sebagai berikut, Orang yang tekun mengerjakan sembahyang dengan sempurna, maka perilaku, budi pekerti dan kalbunya juga harus terpengaruh menjadi baik. Sebab sembahyang yang dilakukan dengan jiwa yang bersih akan berpengaruh pula bagi cabang kehidupan lainnya.

Lebih lanjut Syeh Siti Jenar mengatakan; sebaliknya hadits itu tidak berlaku bagi orang yang tekun mengerjakan sembahyang tetapi hatinya masih kotor, tersimpan keinginan-keinginan nafsu misalnya ingin dipuji orang lain, terdapat ujub dan sombong, serta budinya menyimpang dan menabrak tatanan yang dilarang. Sedangkan shalat orang tersebut tidaklah menyentuh hatinya. Meskipun berlama-lama merunduk di masjid, namun masih mencintai duniawi. Sembahyang yang pakaiannya kedombrangan, merunduk di masjid berlama-lama sampai lupa anak istri. Sedangkan ia masih menyintai duniawi dan mengumbar nafsu manusiawinya. Bahkan dalam kehidupan sehari-hari, ia seringkali menyusahkan orang lain. Maka orang yang demikian itu tidak terpengaruh oleh sembahyang yang dilakukan. Biasanya orang seperti itu sibuk menghitung pahala mereka. Dia sangat keliru dan bodoh. Pahala yang masih jauh tetapi diperhitungkan. Sungguh, sedikit pun tak akan dapat dicapainya. 

Ajaran Syekh Siti Jenar dikenal sebagai ajaran ilmu kebatinan, yakni suatu ajaran yang menekankan aspek kejiwaan dari pada aspek lahiriah yang dapat dilihat dengan kasat mata. Intinya ialah konsep tujuan hidup. Titik akhir dari ajaran Siti Jenar ialah tercapainya kesatuan antara roh manusia dengan Zat Allah. Paham inilah yang mirip dengan ajaran zuhud para wali. Zuhud banyak terdapat dalam dunia tasawuf. Mereka merupakan orang-orang yang menjauhkan diri dari kemewahan dan kesenangan yang sifatnya duniawi. Sebab mereka mempunyai tujuan hidup yang mereka anggap lebih utama, yakni ingin mencapai puncak kehidupan yakni kesucian jiwa atau roh.

Membicarakan Siti Jenar sebagai penggerak sejarah maupun ajaran sufisme dalam khazanah Islam akan selalu membangkitkan perbedaan pandangan yang tajam. Perbedaan tersebut berkaitan dengan hadirnya dalam sejarah perkembangan Islam di Indonesia dan meteri ajarannya yang mengandung sisi kefilsafatan dan dihidupkan dalam praktek sufi. Untuk membicarakan ajaran yang dibawa Siti Jenar secara tuntas, haruslah dilakukan telaan yang menyeluruh —dalam konteks sejarah— tentang sejarah Islam di Indonesia. Demikian pula harus dikaitkan dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Sebab paling tidak ajaran yang dibawa oleh Siti Jenar menyakut bidang filsafat pula, meskipun hanya khusus dalam bidang tasawuf saja. Sedangkan ajaran Siti Jenar kenapa dianggap sesat kala itu tidak lepas dari polemic politik yang terjadi dalam pergulatan polotik yang dialami Islam di Indonesia.

Inti sebenarnya dari ajaran Syeh Siti Jenar adalah pencapaian spiritualitas yang tinggi dalam penyatuan antara makhluk dengan Sang Pencipta, yang lebih populer disebut sebagai Manunggaling Kawula Gusti. Bila ditilik secara menyeluruh, ajaran yang disebarkan Siti Jenar adalah meliputi pengetahuan tentang kehidupan dan penguasaan hidup, tentang kematian dan tempat sesudah ajal, hidup kekal tak berakhir, dan tentang kedudukan Yang Maha Luhur. Paham yang hampir senada dengan falsafah Jawa kuno.

Makna Kehidupan dan Kematian
Syekh siti Jenar memandang hidup hakiki ialah hidup sesudah kematian. Pandangan hidup dan kesadaran keagamaan orang jawa juga lebih didasari hakekat hidup abadi yang baru dimulai sesuadah kematian tersebut. Dan dari sini pula seluruh pandangan wali yang dituduh murtad ini didasari hakikat hidup yang baru dimulai ketika seseorang meninggal dunia tersebut. Kesempurnaan hidup dalam keseluruhan aliran pemikiran Islam bukan baru akan dicapai setelah mati, akan tetapi, kesempurnaan hidup bahkan harus didasari makna hidup sesudak kematian. Di sinilah sebenarnya inti dari ajaran Islam baik dari kalangan para sufi dan juga para ahli syari'at. hal ini menunjukkan bahwa ajaran Siti Jenar bukanlah suatu hal yang asing dalam kajian para pemeluk Islam dan juga kesadaran kejawen. Yang menjadi titik persoalan sekarang pada fungsi nilai-nilai hakiki dari kehidupan abadi tersebut dalam tindakan dan gerak hidup di dunia ini. 

Dalam kasus yang terjadi sekarang banyak terjadi dalam dunia politik yang menggunakan otoritas yang dimiliki oleh Allah, mereka menggunakan nama Allah untuk melakukan penekanan pada rakyat agar rakyat bisa menerima hal tersebut. Selanjutnya mereka dengan sesuka hatinya memakan dana rakyat atau yang sering kita kenal sebagai tindak korupsi. Kecenderungan seperti itu dikatakan Siti Jenar sebagai akibat dari kesalahan manusia dalam memaknai hakikat hidup yang sebenarnya. Manusia telah melakukan kesalahan besar dalam memahami Allah dan ajaran-Nya yang menggunakan pancaindra yang sifatnya kotor, najis dan palsu. Untuk hal itu manusia seharusnya harus tahu bagaimana memahami Allah yang sebenarnya.
Konsep kehidupan yang semacam itu sebenarnya tidak lari dari kenyataan yang mencoba untuk menolak kehidupan, tetapi justru masuk dan melebur kedalam kehidupan, mengrai misteri, untuk kemudian mampu melihatnya secara tembus pandang sehingga mampu melampaui ilusinya. Hal tersebut didasari al-Qur’an yang tertera dalam surat al-Hadid 20
Kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.
dan al-An’am ayat 32.
Tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka. dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertaqwa. Maka tidakkah kamu memahaminya.

Kematian bukanlah akhir hari kehidupan manusia, malah sebaliknya kematian merupakan awal sebenarnya kehidupan manusia. Hidup duniawi bagi Siti Jenar hanyalah bayangan palsu dari hidup yang sesungguhnya yang akan dijalani manusia setelah kematian. Kematian merupakan kehidupan yang sungguh nyata dan abadi. Dalam alam kepalsuan manusia dikendalikan oleh jasad yang akan membusuk, hancur dan musnah. Pancaindra hanya melahirkan pengetahuan yang palsu. Pengetahuan seperti itulah yang membawa manusia pada kesesatan di dunia yang mengakibatkan kesengsaraan yang berbuah neraka.


Konsep Tuhan yang benar menurut Siti Jenar jika bersumber dari hati yang tulus dan jujur. Tuhan tidak dapat dilukiskan dengan gambaran apapun. Tuhan adalah segalanya dan sekaligus sebagai bukan yang bukan. Tuhan ada disini dan disana, sekarang dan nanti, meliputi segala tempat, ruang dan waktu.
Menurutnya hanya manusia yang telah bebas dari kepentingan pribadi, hawa nafsu serta kekuasaan duniawi yang memiliki peluang untuk menyatu dengan Allah. Maka bagi orang seperti ini sebutan untuk Allah tidaklah penting lagi, yang terpenting adalah kesadaran akan keberadaan Zat Allah yang ada pada setiap langkah dan gerak hidupnya.

Hal yang paling penting bagi manusia ialah melakukan langkah-langkah yang bertujuan untuk membebaskan diri dari segala macam nafsu dan kepentingan yang bersifat duniawi. Kebebasan manusia dari belenggu dunia bukanlah untuk menjauhi segala macam kehidupan dunia tersebut, disitu dimaksudkan agar manusia mampu untuk menyikapi bahwa dunia yang penuh dengan kepalsuan ini dan jga bisa memahami hakikat hidup yang sebenarnya yang abadi dan kekal selamanya. Hal tersebut ditujukan agar manusia tidak menjadi budak harta maupun kekuasaan agar manusia mencapai pada tinggakan tertinggi.

Sebenarnya Tuhan itu sederhana, tetapi pikiran manusia yang mengakibatkan Tuahn itu rumit. Hal yang diperlukan manusia hanyalah memahami dirinya sendiri, dan hal tersebut sekaligus memahami Tuhan. Jika manusia tidak mampu memahami dirinya sendiri sekaligus memahami Tuhan, maka saat itulah kondisi batin manusia terpecah belah dan mengalami ketidakutuhan. Manusia menjadi terputus dari kehidupannya dan akan kehilangan arah.


Dalam berbagai literatur mengatakan bahwa Syekh Siti Jenar merupakan anak seorang pendeta yang memerintah di Caruban, dia bernama Resi Bungsu. Nama aslinya adalah Ali Hasan. Mengenai asal usul nama tersebut merupakan misteri yang belum dapat dilacak kebenarannya.

Ilmu tasawuf yang ia pelajari dari Baghdad begitu kuat Pengaruhnya sehingga ia tidak begitu tertarik dengan ilmu syari’at. Ia lebih mendekatkan pada ilmu hakikat. Siti Jenar selalu menggali hakikat kebenaran, hakikat diri sebagai manusia serta hakikat ketuhanan. Ibadah syari’at baginya tidaklah cukup untuk mencapai Allah. Karena itu manusia memerlukan tasawuf untuk bisa sampai pada Allah.

Manunggaling Kawula Gusti merupakan ajaran dari Siti Jenar, yang didalamnya membahas tentang konsepsi ketuhanan, kemanusian, kehidupan, kematian dan kekekalan hidup. Manusia harus bisa memahami diri sendiri sekaligus memahami Allah. Kehidupan yang sebenarnya bermula dari kematian. Kematian merupakan perjalanan awal manusia menjalani hidup yang hakiki. Kehidupan yang kekal akan didapat manusia jika ia mampu mengenali dirinya sendiri, sehingga ia mampu menytu dengan Alaah sebagai otoritas yang absolut.

DAFTAR PUSTAKA
Alqalami, Abu Fajar. 2005. Legenda Siti Jenar. Surabaya: Pustaka Media.
Mu’tasim, Radjasa dan Abdul Munir Mulkan. 1998.  Bisnis Kaum Sufi; Studi Tarekat dalam Masyarakat Industri. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Mulkan, Abdul Munir. 2005. Makrifat Siti Jenar, Teologi Pinggiran dalam Kehidupan Wong Cilik. Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu. 
Mulkhan, Abdul Munir. 2004. Makrifat Burung Surga dan Ilmu Kesampurnan Syekh Siti Jenar. Yogyakarta: Kreasi Wacana.