Halaman

Wikipedia

Hasil penelusuran

Trusty

Rabu, 24 Agustus 2016

Rezeki Tak Sebatas Uang



Sungguh janji Allah itu nyata dan salah satu dari nikmat-nikmat yang dibrikan kepada ahli syukur adalah rezeki. Makna rezeki terkadang masih ada yang menyalah-artikan. Pandangan kita tentang rezeki terbatas pada uang semata. Padahal, rezeki dari Allah tidak sebatas uang.

Rezeki adalah semua rahmat Allah, seperti kesehatan, ketenangan, ilmu, keluarga yang bahagia, nama baik, pengaruh besar untuk mengajak pada kebaikan dan menolak keburukan, serta teman-teman yang selalu mengingatkan kepada kebaikan.

Itu semua akan Allah berikan kepada kita sebagai reward dari kebaikan-kebaikan yang telah kita lakukan. Salah satunya adalah kebaikan bersyukur. Namun, bukan berarti kita melakukan segala kebaikan untuk mendapatkan rezeki, hanya itu adalah konsekuensi alam yang kita terima setelah kita melakukan kebaikan. Minta ataupun tidak, kita tetap akan selalu mendapat rezeki jika kita termasuk dalam golongan yang bersyukur.

Dengan rezeki tersebut, kita bisa melakukan investasi kebaikan kepada Allah. Dalam dunia bisnis, uang bukanlah tujuan akhir, tapi karya yang lebih besar. Jadi rahasia terbesar seorang pebisnis adalah ia tidak pernah mencoba untuk mendapatkan uang. Baginya, lebih baik memerhatikan hasil akhir karyanya daripada uang.

Oleh karena itu, mari kita gunakan rezeki kita hanya untuk kebaikan, maka hasil yang didapat akan berlipat ganda. Semakin banyak rezeki yang kita gunakan untuk kebaikan, layaknya bola salju yang menggelinding, akan semakin besar pula nikmat yang akan Allah berikan.

Selasa, 28 Juni 2016

MIRIS

Miris. Satu kata yg mewakili masa depan bangsa ini. Entah siapa yg pertama kali harus disalahkan dan aspek mana saja yg perlu diperbaiki.

Pertama, bangsa ini selain dikenal dengan keramahannya, juga dikenal dengan korupsinya. Korupsi sudah menjadi rahasia umum bangsa ini mulai kalangan atas hingga rakyat jelata sudah melakukannya, meskipun dengan berbagai macam bentuknya.

Kedua, selain korupsi, masalah lain adalah narkoba. Mendengar namanya saja sudah menakutkan, apalagi pernah mengkonsumsinya. Sungguh tiada nikmat benda yang satu ini. Korbannya sudah menyebar ke seluruh penjuru bangsa, tidak hanya kalangan sipil, bahkan kalangan aparat dan pemerintahan menjadi obyek jajahannya. Sudah seharusnya hukuman mati dapat mengurangi gerak langkahnya.

Ketiga, tidakan asusila. Tindakan amoral ini akhir-akhir ini mengguncang pemberitaan di berbagai media. Bagaimana tidak, sudah banyak berjatuhan para korban dari tindakan ini. Korbannya sebagian besar adalah perempuan dan anak-anak. Kondisi mental dan kejiwaan mereka terguncang, dengan rasa emosi mereka berusaha menutup diri dan ingin mengakhiri hidupnya. Keberuntungan yang mereka miliki hanyalah masih diberikan kesempatan hidup, karena jika melihat kesadisan pelaku, banyak dari korban yang justru bernasib nahas. Mereka ada yang dibunuh, mayatnya dibuang dan ditelantarkan.

Sungguh saya berharap mimpi buruk ini segera berakhir. Bahwa ketiga contoh di atas hanya sekelumit masalah yang sebenarnya menyimpan banyak masalah-masalah lain. Ibarat fenomena gunung es, masalah ini sulit dipecahkan. Akan banyak sisi yang terlibat untuk mencairkannya.

Jika dilihat dari sudut pandang filsafat, maka cara yang paling ampuh adalah dari diri sendiri. Tentang bagaimana kita menyerap informasi, memilih pergaulan yang positif, dan tidak mudah terprovokasi. Sebagaimana yang dikatakan Thomas Hobbes, Homo Homini Lupus, bahwa manusia adalah serigala bagi manusia yang lain. Dalam arti sempit bahwa meskipun orang lain adalah teman, namun di dalam rayuannya tersimpan anjuran yang menjerumuskan.

Selain diri sendiri, keluarga adalah pandidikan pertama seorang anak. Dari hadits diriwayatkan, Dari Abu Hurairah r.a. berkata, Rasulullah SAW. bersabda,"Tidak ada dari seorang anak (Adam) melainkan dilahirkan atas fitrah (Islam), maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya beragama Yahudi atau Nasrani atau Majusi. Bagaikan seekor binatang yang melahirkan seekor anak. Bagaimana pendapatmu, apakah didapati kekurangran? (HR Muttafaq Alaih)

To be continued...

Rabu, 27 April 2016

Faqr ala Tukang Parkir

al-Faqr adalah sebuah sikap spiritual yang memandang bahwa kita tidak merasa memiliki apa-apa; semuanya milik Allah. sampai terhadap diri kita sendiripun kita tidak merasa memiliki. Meskipun secara kasat mata kekayaan milik kita itu tampak nyata, namun bagaimanapun juga tidak diperbolehkan untuk mengakuinya sebagai sesuatu miliknya yang disebabkan oleh usahanya, sebab semua itu dari Allah dan kembali ke Allah.

Abu Muhammad Al-Jurairi berkata, "Kefakiran berarti bahwa orang tidak boleh mencari yang tidak maujud, sampai orang itu gagal menemukan hal yang maujud." Maksudnya adalah bahwa orang tidak boleh mencari mata pencaharian kecuali jika orang itu khawatir tidak mampu melaksanakan tugas keagamaannya. Ibn Jalla' berkata, "Kefakiran adalah bahwa tidak ada sesuatu yang menjadi milikmu; atau jika memang ada sesuatu, itu tidak boleh menjadi milikmu."

Al-Kattani berkata, "Kalau seseorang benar-benar membutuhkan Tuhan, berarti dia benar-benar bersama Tuhan; karena tidak satupun dari dua keadaan itu sempurna oleh ketiadaan salah satunya." Al-Nurri berkata, "Faqr adalah orang yang harus diam ketika dia tidak memiliki sesuatu dan bermurah hati serta tidak memikirkan diri sendiri kalau dia memiliki sesuatu."

Dengan begitu ada kesadaran spiritual, bahwa manusia pada hakikatnya tidak mampu melakukan apa-apa tanpa ada kehendak Sang Kuasa. Sebagaimana halnya dengan firman Allah Q.S. Muhammad: 38, sebagai berikut:
هَا أَنْتُمْ هَٰؤُلَاءِ تُدْعَوْنَ لِتُنْفِقُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَمِنْكُمْ مَنْ يَبْخَلُ ۖ وَمَنْ يَبْخَلْ فَإِنَّمَا يَبْخَلُ عَنْ نَفْسِهِ ۚ وَاللَّهُ الْغَنِيُّ وَأَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ ۚ وَإِنْ تَتَوَلَّوْا يَسْتَبْدِلْ قَوْمًا غَيْرَكُمْ ثُمَّ لَا يَكُونُوا أَمْثَالَكُمْ
38. Ingatlah, kamu ini orang-orang yang diajak untuk menafkahkan (hartamu) pada jalan Allah. Maka di antara kamu ada yang kikir, dan siapa yang kikir sesungguhnya dia hanyalah kikir terhadap dirinya sendiri. Dan Allah-lah yang Maha Kaya sedangkan kamulah orang-orang yang berkehendak (kepada-Nya); dan jika kamu berpaling niscaya dia akan mengganti (kamu) dengan kaum yang lain; dan mereka tidak akan seperti kamu ini.

Suatu ketika seseorang bertanya kepada Dzu Al-Nun Al-Misri tentang orang yang memiliki kemiskinan ruhani sesungguhnya (al-Faqr), maka dia menjawab, "Orang faqr yang sebenarnya adalah orang yang tidak bisa menaruh kepercayaan kepada segala sesuatu, tetapi sebaliknya, segala sesuatu akan menaruh kepadanya." Seseorang juga bertanya kepada Abu 'Abd Allah Al-Maghribi tentang seorang faqr yang sebenarnya, maka dia menjawab, "Dialah orang yang tidak memiliki sesuatu dan dia juga tidak dimiliki oleh segala sesuatu." Abu Al-Harust Al-Aulasi juga pernah ditanya tenteng pertanyaan yang sama, maka dia menjawab, "Orang faqr yang sebenarnya adalah yang tidak dekat dengan sesuatu, sementara segala sesuatu dekat dengannya." Berbeda dengan jawaban Yusuf ibn Al-Husain, yang mengatakan bahwa, "Orang faqr adalah orang yang memerhatikan waktu ruhaninya secara serius. Jika dia masih melihat ke waktu kedua, dia belum bisa disebut faqr." 

Ada juga Husain Ibn Manshur (Al-Hallaj) menjawab, "Faqr yang sebenarnya adalah orang yang tidak memilih keadaan hidupnya dengan suatu pandangan untuk mengamankan kepuasaannya sendiri." Abu Hafsh Al-Naisaburi juga mengatakan bahwa, "Seorang faqr yang sebenarnya adalah orang yang tetap dalam pengendalian di setiap waktunya. Dan jika ada satu hal yang menyeretnya serta akan mengeluarkannya dari pengendalian waktu spiritualnya, dia menemukan kegelisahan." Al-Junaid berkata, "Orang faqr yang sebenarnya adalah orang yang tidak merasa cukup dengan sesuatu, tetapi segala sesuatu merasa cukup dengannya."

Tetapi sebagian guru sufi memandangnya sebagai salah satu maqam, kadang-kadang disebutkan sebelum tahap kepuasan dan kadang-kadang setelahnya. Orang harus menyadari sepenuhnya kebenaran ayat al-Quran bahwa Allah itu Maha Kaya dan manusia miskin, bahwa secara ontologis Dia adalah Wujud Mutlak sementara kita tidak ada apa-apanya di dalam diri kita sendiri, karena kita menerima eksistensi kita dari Allah Dari satu sudut pandang, kita harus mencapai kedudukan faqr agar dapat meraih tahapan kepuasan. Dari sudut pandang yang lain, kita harus berjalan melalui semua tahapan yang telah merealisasi dalam diri faqr. Sinkatnya, faqr adalah pintu gerbang bagi Cinta Ilahi maupun Pengetahuan Ilahi.

Maqam faqr merupqkqn sikap dan perilaku yang harus tertanam pada diri pelaku tasawuf, sebagai kesediaan tidak mau dipengaruhi oleh pemikiran harta kekayaan yang banyak, tetapi sekedar bisa digunakan untuk memperlancar ibadah kepada Allah dan berbakti kepada sesama makhluk. Faqr yang dimaksud adalah bukan kemelaratan yang mengakibatkan seseorang sama sekali tidak berdaya untuk hidup dan beribadah, tetapi dimaksudkan sebagai kebutuhan terhadap Allah semata, dan tidak membutuhkan sesuatu di luar ketentuan-Nya, sehingga sikapnya tidak terlalu sibuk mencari kekayaan, karena sikapnya selalu dilandasi dengan sikap qana'ah.

Faqr dalam diri manusia-manusia pemilik hakikat (haqiqah) adalah sebuah sifat alami yang--meskipun memiliki harta ataupun tidak memiliki harta--tidak berubah. Karena seorang hakikat, melihat segala sesuatu dengan sarananya dalam kekuasaan Allah, maka ia memadang bahwa menyerahkan harta kepada orang lain adalah diperbolehkan. 

Sehingga dalam diri seorang faqr, bisa dianalogikan seperti tukang parkir. Dalam kondisi nyata mereka punya, tapi mereka tidak merasa memiliki, karena semuanya selalu dikembalikan kepada Allah. Allah sebagai Maha Kaya dan manusia adalah miskin, mereka selalu berusaha menjadi miskin di hadapan Allah. Jadi, dalam kondisi apapun, seorang faqr tidak merasa kaya atau miskin, karena bagi mereka semuanya tidak berbeda. 

Dengan melakukan faqr, manusia menjadi sadar diri atas apa yang dimiliki bukan kepemilikannya. Meskipun dia bekerja dan memiliki harta. Dengan faqr, manusia diajarkan untuk tidak sombong dan angkuh atas semua kekayaan yang dimiliki.

Rabu, 13 April 2016

Insan Kamil ala Superman

Teringat masa kecil dulu ketika banyak tontonan televisi tentang bermacam-macam superhero (pahlawan super). Sebagaimana telah kita ketahui bersama bahwa sosok Superman adalah superhero yang berbeda dengan seperhero yang lainnya. Ketika superhero yang lain, katakanlah seperti Spiderman dan Batman, tampil ke hadapan publik dengan mengenakan topeng atau penutup wajah, dengan tujuan menyembunyikan identitas mereka. Tapi itu tidak berlaku bagi Superman, dengan terang-terangan dia menampakkan wajah aslinya tanpa sehelai kainpun menutupi wajahnya. Dapat dikatakan bahwa Superman adalah superhero yang jujur, percaya diri, dan sedikit narsis dari superhero yang lain.

Beranjak dewasa, pikiran berkembang ke arah yang lain. Selalu ada tanya untuk setiap adegan superhero yang dipertunjukkan. Mengapa? Bagaimana? dan Untuk apa?

Saat terdiam, pikiranku berkhayal untuk mengarahkan sosok Superman sebagai manusia yg sempurna, atau dalam tasawuf disebut dengan Insan Kamil. Insan kamil berasal dari bahasa Arab, yaitu dua kata: Insan dan Kamil. Secara harfiah Insan berarti manusia dan Kamil berarti yang sempurna. Dengan demikian, Insan Kamil berarti manusia yang sempurna.

Selanjutnya kata insan digunakan oleh para filosof klasik sebagai kata yang menunjukkan pada arti manusia secara totalitas yang secara langsung mengarah pada hakikat manusia. Kata insan juga digunakan untuk menunjukkan pada arti terkumpulnya seluruh potensi intelektual, rohani, dan fisik yang ada pada manusia, seperti hidup, sifat kehewanan, berkata-kata, dan sebagainya.

Adapun kata kamil dapat pula berarti suatu keadaan yang sempurna dan digunakan untuk menunjukkan pada sempurnanya zat dan sifat, dan hal itu terjadi melalui terkumpulnya sejumlah potensi dan kelengkapan seperti ilmu dan sekalian sifat yang baik lainnya.

Fungsi akal secara optimal dapat dijumpai pada pendapat kaum Muktazilah. Menurutnya manusia yang akalnya berfungsi secara optimal dapat mengetahui bahwa segala perbuatan baik sesuai dengan essensinya dan merasa wajib melakukan semua itu walaupun tidak diperintahkan oleh wahyu. Manusia yang berfungsi akalnya sudah merasa wajib melakukan perbuatan yang baik. Maka manusia yang seperti ini mendekati Insan kamil. Dengan demikian insan kamil akalnya dapat mengenali perbuatan yang baik dan perbuatan buruk karena hal itu telah terkandung pada essensi perbuatan tersebut.

Insan kamil dapat dicirikan dengan berfungsinya intuisi yang ada dalam dirinya. Intuisi ini dalam pandangan Ibn Sina disebuut sebagai jiwa manusia (rasional soul). Menurutnya jika yang berpengaruh dalam diri manusia adalah jiwa manusianya, maka orang itu hampir menyerupai malaikat dan mendekati kesempurnaan.

Insan kamil juga mampu menciptakan budaya. Manusia yang sempurna adalah manusia yang mampu mendayagunakan seluruh potensi rohaniahnya secara optimal. Menurut Ibn Khaldun manusia adalah makhluk berfikir. Sifat-sifat semacam ini tidak dimiliki oleh makhluk lainnya. Lewat kemampuan berfikirnya itu, manusia tidak hanya membuat kehidupannya, tetapi juga menaruh perhatian terhadap berbagai cara guna memperoleh  makna hidup. Proses-proses semacam ini melahirkan peradaban.

Insan kamil menghiasi diri mereka dengan sifat-sifat Ketuhanan. Karena manusia adalah makhluk mempunyai naluri-naluri Ketuhanan (fitrah). Ia cenderung kepada hal-hal yang berasal dari Tuhan dan mengimaninya. Sebagai Khalifah (wakil Tuhan di muka bumi), manusia berusaha menentukan nasibnya sendiri, baik sebagai individu atau kelompok masyarakat yang memiliki tanggung jawab besar dan memiliki kehendak bebas.

Insan kamil juga manusia yang berakhlak mulia. Menurut Ali Syariati ada tiga aspek yang mendasarinya, yaitu: kebenaran, kebajikan, dan keindahan. Yang dapat dicapai dengan kesadaran, kemerdekaan, dan kreativitas. Insan kamil dengan kemampuan otaknya mampu menciptakan peradaban yang tinggi dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Serta mempunyai kepekaan terhadap penderitaan, kemiskinan, kebodohan, dan kelemahan.

Beberapa ciri tersebut mendekati dari beberapa sifat dan perbuatan yang dilakukan Superman, hanya saja Superman dikemas seakan-akan jauh dari sisi tasawuf, bahwa Superman mengklaim memiliki sifatnya sendiri tanpa harus melihat dari sisi kemanusiaan di dalam insan kamil. Meskipun kebanyakan orang menilai bahwa Superman bukan Insan kamil, namun bagi saya, apa yang ditunjukkan Superman dalam filmnya tidak jauh dari sifat yang diajarkan dalam insan kamil.

Begitulah kurang lebih pengamatan saya terhadap Superman dari sisi Insan kamil. Melihat siapa meniru siapa sebaiknya tidak saling menyalahkan, karena apa yng disajikan adalah baik. Keduanya, Superman dan Insan kamil sama-sama mengajarkan tentang kebaikan.  


Pemikiran Tasawuf Falsafi Abu Yazid Al-Bustami: Ittihad


Nama lengkapnya adalah Abu Yazid Thaifur bin ‘Isa bin Surusyan al-Bustami, lahir di daerah Bustam (Persia) tahun 874 – 947 M. nama kecilnya adalah Thaifur (atau secara singkat dipanggil dengan sebutan Bayazid). Kakeknya bernama Surusyan, seorang penganut agama Zoroaster (Majusi), kemudian masuk dan memeluk agama Islam di Bustam. Keluarga Abu Yazid termasuk berada di daerahnya, tetapi ia lebih memilih hidup sederhana. Sejak dalam kandungan ibunya, konon kabarnya Abu Yazid telah mempunyai kelainan. Ibunya berkata bahwa ketika dalam perutnya, Abu Yazid akan memberontak sehingga ibunya muntah kalau menyantap makanan yang diragukan kehalalannya.
Sewaktu meningkat usia remaja, Abu Yazid terkenal sebagai murid yang pandai dan seorang anak yang patuh mengikuti perintah agama dan berbakti kepada orang tuanya. Suatu kali gurunya menerangkan suatu ayat dari al-Qur’an Surat Luqman yang berbunyi : “Berterima kasihlah kepada Aku dan kepada kedua orang tuamu”. Ayat ini sangat menggetarkan hati Abu Yazid. Ia kemudian berhenti belajar dan pulang untuk menemui ibunya. Sikapnya ini menggambarkan bahwa ia selalu berusaha memenuhi setiap panggilan Allah.
Perjalanan Abu Yazid untuk menjadi seorang sufi memakan waktu puluhan tahun. Sebelum membuktikan dirinya sebagai seorang sufi, ia terlebih dahulu menjadi seorang faqih dari Mazhab Hanafi. Salah seorang gurunya yang terkenal adalah Abu Ali As-Sindi. Ia mengajarkan ilmu tauhid, ilmu hakikat, dan ilmu lainnya kepada Abu Yazid. Hanya saja ajaran sufi Abu Yazid tidak ditemukan dalam buku.
Dalam menjalani kehidupan zuhud selama 13 tahun, Abu Yazid mengembara di gurun-gurun pasir di Syam, hanya dengan tidur, makan, dan minum yang sedikit sekali.

Ittihad adalah tahapan selanjutnya yang dialami seorang sufi setelah ia menempuhi tahapan fana’ dan baqa’. Hanya saja dalam literatur klasik, pembahasan tentang ittihad ini tidak ditemukan apakah karena pertimbangan keselamatan jiwa ataukah ajaran ini sangat sulit dipraktekkan merupakan pertanyaan yang sangat baik untuk dianalisis lebih lanjut. Namun, menurut Harun Nasution uraian tentang ittihad banyak terdapat di dalam buku karangan orientalis.
Dalam tahapan ittihad, seorang sufi bersatu dengan Tuhan, antara yang mencintai dan yang dicintai menyatu, baik substansi maupun perbuatannya. Dalam ittihad identitas telah hilang dan identitas menjadi satu. Sufi yang bersangkutan, karena fana-nya tak mempunyai kesadaran lagi dan berbicara dengan nama Tuhan.
Al-Bustami dipandang sebagai sufi pertama yang menimbulkan ajaran fana dan baqa’ untuk mencapai ittihad dengan Tuhan.
Pengalaman kedekatan Abu Yazid dengan Tuhan hingga mencapai ittihad disampaikannya dalam ungkapan “pada suatu ketika aku dinaikkan kehadirat Tuhan, lalu Ia berkata: “Abu Yazid, makhluk-makhluk-Ku sangat ingin memandangmu. Aku menjawab: “Kekasihku, aku tak ingin melihat mereka. Tetapi jika itu kehendak-Mu, maka aku tak berdaya untuk menentang-Mu. Hiasilah aku dengan keesaan-Mu, sehingga jika makhluk-makhluk-Mu memandangku, mereka akan berkata: Kami telah melihat-Mu. Engkaulah itu yang mereka lihat, dan aku tidak berada di hadapan mereka itu.Puncak pengalaman kesufian al-Bustami dalam ittihad juga tergambar dalam ungkapan berikut: “Tuhan berkata, Abu Yazid, mereka semua kecuali engkau adalah makhluk-Ku. Akupun berkata, aku adalah Engkau. Engkau adalah aku, dan aku adalah Engkau.”
Terputus munajat. Kata menjadi satu, bahkan semuanya menjadi satu. Tuhan berkata kepadaku, Hai engkau. Aku dengan perantaraan-Nya menjawab, Hai aku. Ia berkata, “Engkaulah yang satu. Aku menjawab, akulah yang satu. Ia berkata, Engkau adalah engkau. Aku menjawab, aku adalah aku.”Dalam ittihad kelihatannya lidah berbicara melalui lisan Al Bustami. Ia tidaklah mengaku dirinya Tuhan, meskipun pada lahirnya ia berkata demikian.
Suatu ketika seorang melewati rumah Abu Yazid dan mengetuk pintu. Abu Yazid bertanya, “Siapa yang engkau cari?” Orang itu menjawab. “Abu Yazid”. Abu Yazid berkata, “Pergilah, di rumahmu ini tidak ada, kecuali Allah Yang Maha Kuasa dan Maha Tinggi. Ucapan-ucapan Abu Yazid di atas kalau diperhatikan secara sepintas memberikan kesan bahwa ia syirik kepada Allah. Oleh karena itu, dalam sejarah ada sufi yang ditangkap dan dipenjarakan karena ucapannya membingungkan golongan awam.[1]
Sebenarnya, apa yang dikatakan oleh Abu Yazid, tidak berarti ia sebagai Tuhan, tetapi kata-kata itu adalah suara Tuhan yang disalurkan melalui lidah Abu Yazid yang sedang dalam keadaan fana’an nafs.
Abu Yazid tidak mengakui dirinya sebagai Tuhan seperti Fir’aun. Proses Ittihad di sisi Abu Yazid adalah naiknya jiwa manusia ke hadirat Allah, bukan melalui reinkarnasi, sirnanya segala sesuatu dari kesadaran dan pandangannya yang disadari dan dilihat hanya hakikat yang satu, yakni Allah. Bahkan, dia tidak melihat dan menyadari dirinya sendiri, karena dirinya terlebur dalam dia yang dilihat.
Jadi sebenarnya Abu Yazid tidaklah mengaku dirinya sebagai Tuhan, namun perkataannya menimbulkan berbagai tanggapan. At-Thusi mengatakan: Ucapan ganjil (al-Syaht) adalah ungkapan yang ditafsirkan lidah atas limpahan intuisi dari dalam relung hatinya dan dibarengi seruan. Seorang Sufi yang sedang sakaw tidak bisa mengendalikan apa yang bergejolak dalam qalbunya dan membuat seseorang mengungkapkan mengungkapkan kata-kata yang sulit dipahami oleh pendengarnya. Oleh sebab itu, menurut at-Thusi, bila seorang sufi sedang Fana’ dari hal-hal yang berkenaan dengan dirinya, bukan berarti ia kehilangan sifat-sifat basyariahnya sebab sift itu tidak dapat sirna dari diri manusia. Akan sangat berbahaya dari keyakinan seorang muslim jika menganggap kefana’an adalah kefana’an sifat-sifat manusia dan ia bersifatkan sifat-sifat ketuhanan.[2]
Terlepas dari semua itu, hal yang paling utama dan mungkin bisa membebaskan Abu Yazid dari justifikasi negatif yang ditimpakan padanya adalah bahwa ungkapan Syatahat itu hanya muncul ketika Abu Yazid sedang dalam keadaan “mabuk ilahi”; tidak sadar dan terjebak dalam situasi fana’. Karena itu, tidaklah salah jika Abu Yazid dikenal sebagai sufi pertama yang berhasil mengoperasikan gagasan fana’ dalam sistematika ajaran tasawufnya.[3]
Sejauh yang tampak dari ucapan eksperimental itu, terlibat fase bertahap yang dialami Abu Yazid dalam upayanya mencari Allah. Akan tetapi yang paling dramatis adalah beritanya yang menyebutkan jika ia sudah pernah terbang tinggi (Mi’raj) menuju keharibaan Allah. Mengenai hal yang satu ini, Abu Yazid adalah sufi pertama yang memvisualisasikan pengalaman spiritualnya dalam tajuk mi’raj, yakni sebuah perjalanan surgawi yang dahulu juga pernah dilakukan Nabi Muhammad.[4]
Diceritakan Abu Yazid telah mengarungi tujuh tingkatan surga, menolak segala tawaran hadiah yang ada di dalamnya, dan hanya berkeinginan untuk bertemu Allah SWT. Ia mengutarakan pengalamannya ini: “... dan ketika Allah sepenuhnya mengetahui ketulusanku bahwa aku hanya ingin bertemu dengan-Nya, maka ia memanggilku, “Mari, datanglah mendekat pada-Ku. Lihatlah dataran kemuliaan-Ku dan area cahaya-Ku. Duduklah di atas karpet kesucian-Ku sampai kau melihat lembutnya ke-Akuan-Ku. Kamu adalah pilihan-Ku, kekasih-Ku, dan ciptaan-Ku yang paling bagus”. Mendengar perkataan-Nya itu, aku merasa seakan-akan meleleh seperti timah yang sedang mencair. Lantas Dia memberiku minuman dari mata air kasih sayang-Nya dalam sebuah cangkir keakraban. Lalu membawaku ke dalam kedaan yang tidak bisa ku gambarkan. Dia membawaku mendekat kepada-Nya, sangat dekat; hingga lebih dekat daripada jiwa dengan sebatang tubuh”.[5]
Pengalaman mi’raj ini dijadikan Abu Yazid sebagai sufi yang paling unik dan eksentrik untuk ukuran masanya, bahkan sesudahnya. Bersamaan dengan hal itu, puncak dari segala kontroversial Abu Yazid tentu saja adalah keluarnya sejumlah syatahat dari mulutnya. Sejumlah kalangan kemudian mengidentifikasi ucapan-ucapan ekstase Abu Yazid sebagai bentuk persatuan (Ittihad) antara Abu Yazid dengan Tuhan.
Abu Yazid dilaporkan pernah berkisah; Di suatu kesempatan, Ia mengangkatku ke atas, menempatkanku di depan-Nya, dan berkata kepadaku: “Wahai Abu Yazid, makhluk ciptaan-Ku pasti akan senang untuk mencarimu.” Lalu aku berkata: “Hiasilah aku dengan sifat tunggal-Mu (Wahdaniyah), pakaianilah aku dengan subjektifitas-Mu (Ananiyah), dan bawalah aku menuju keesaan-Mu (Ahadiyah), sampai kelak ketika ciptaan-Mu melihatku, maka mereka akan berkata, “Kami sudah melihatmu,” padahal Engkaulah yang ada di situ, dan aku tidak berada dihadapan mereka”.[6]
Atau sebagaimana yang terjadi di lain waktu, tentang Abu Yazid yang sedang kedatangan tamu. “Seseorang mendatangi Abu Yazid dan mengetuk pintu rumahnya. Abu Yazid bertanya, “Siapakah yang hendak kau cari?” Orang itu menjawab, “Abu Yazid”. Abu Yazid lantas menyahut, “Pergilah, di rumah ini tidak ada Abu Yazid; yang ada dalam jubah ini hanyalah Allah SWT.[7]
Ia juga berkata; “Maha suci aku, Maha suci aku (Subhani, Subhani) alangkah agungnya kebesaranku. Sesungguhnya aku adalah Allah, tidak ada lagi Tuhan selain aku; maka menyembahlah kepadaku”.[8]
Abu Yazid juga memberikan pesan tentang kedudukan fana’; “Tidak ada hal yang lebih baik bagi seorang manusia daripada menjadi ‘tidak ada’, tanpa asketisme, tanpa teori, dan tanpa praktek. Ketika seseorang tanpa semuanya, maka sebenarnya ia dengan semuanya.”
“Makhluk hanyalah sebuah subjek menuju keadaan, tapi orang yang memilih menjadi gnostik tidaklah memiliki keadaan, sebab bekasnya telah terhapus dan indivualitanya sudah melebur dalam individualitas yang lain. Jejaknya juga ditutupi dengan jejak yang lain.”[9]
Sepertinya sudah ada hal yang lumrah bila syatahat itu kemudian hanya bisa terjadi pada sufi yang sudah tidak mengenali dirinya sendiri. Abu Yazid bisa sampai pada ‘stasiun’ ini dikarenakan ia telah melenyapkan dirinya hingga untuk sementara waktu ia sanggup mencapai dunia kesatuan antara dia dengan Allah. Kesatuan yang dialaminya tentu hanya bersifat rohaniah semata.
Seseorang yang dalam keadaan tidak sadar tentu tidak bisa dikenakan hukum atas segala perkataannya. Ketidak sadaran atau fana’ menjadi basis yang sangat penting dalam memahami kemunculan syatahat sehingga substansi kekontroversialannya sebetulnya bermuara dari ketidakmampuan seorang sufi untuk mengedalikan dirinya, karena dirinya tersebut telah menjadi tidak ada. Kondisi ini sering diiliustraasikan dengan air yang bervolume banyak, tetapi mengalir dalam sungai yang sempit. Sebagai efeknya tentu terjadi luapan air yang menggenang ke sejumlah tempat.[10]
Akibat ini pula, terdapat penafsiran lain yang menilai keluarnya syatahat itu bukanlah ucapan Abu Yazid sendiri, melainkan sabda Allah yang disuarakan melalui perantara lidah Abu Yazid.
Abu Yazid telah mempraktekkan hampir 35 tahun untuk bersikap zuhud dan belajar membumi-hanguskan kepribadiannya. Layaknya seekor ular yang melepaskan kulit luarnya, sehingga yang tersisa seakan-akan yang tersisa dalam dirinya hanyalah pengaruh Tuhan yang senantiasa menggerak-gerakkan kadar kemauannya.
Sufi yang mengeluarkan syatahat adalah ibarat sebuah terompet yang sedang ditiup oleh nafas Tuhan; Tuhanlah yang memainkan nada-Nya sendiri. Saat Abu Yazid berteriak, Subhani; maka hal itu merupakan perkataan Tuhan melalui dirinya.[11] Sampainya rasa bersatu dengan Tuhan agaknya menjadi perhatian khusus tatkala sebagian kalangan menganggap kondisi seperti itu adalah puncak dari segala perjalanan spiritual. Lebih menakjubkan lagi bila memperhatikan maqam fana’ yang dialami Abu Yazid sehingga sanggup terbang menuju keharibaan Tuhan.[12]
Sewaktu timbulnya ucapan syatahat, di samping terjadi dalam keadaan tidak sadar (fana’), Abu Yazid pada dasarnya tidak berkenaan terhadap munculnya ucapan-ucapan eksentrik seperti itu; sebab ada juga riwayat yang menyebutkan ketika ia menyadari apa-apa yang diucapkannya itu, Abu Yazid lantas beristighfar sebanyak-banyaknya. Abu Yazid terjebak dalam situasi itu dikarenakan penyaksiannya yang kuat pada Tuhan Yang Maha Agung dan tidak ada sesuatu yang dilihatnya selain Tuhan.
Pada hakikatnya, semua yang dialami Abu Yazid itu hanyalah sebagian dari karunia yang diberikan Allah, seperti yang tersirat dalam pengakuannya, “Aku memahami Tuhan berkat Tuhan, dan aku memahami sesuatu selain Tuhan berkat cahaya (Nur) yang dipancarkan Tuhan.
Puncak drama dari akhir kehidupan Abu Yazid adalah perubahan pola dan sikap misktik Abu Yazud yang tidak lagi bisa dikategorikan pada arus kelompok ’sufi mabuk’ (sukr); tidak juga menganggap petualang teofaniknya sebagai legenda yang paling agung.[13]



[1]. A. Bachrun Rif’i dan H. Hasan Mud’is, Filsafat Tasawuf, ...,  hlm. 340.
[3]. Aun Falestien Faletehan, Tasawuf Falsafi Persia di Masa Klasik Islam, (Surabaya: Dakwah Digital Press, 2007), hlm. 101.
[4]. Aun Falestien Faletehan, Tasawuf ..., hlm. 97.
[5]. Aun Falestien Faletehan, Tasawuf..., hlm. 98.
[6]. Ibid., hlm 99.
[7]. Ibid., hlm 99.
[8]. Ibid., hlm. 100.
[9]. Ibid., hlm. 103.
[10]. Ibid., 104.
[11]. Ibid., hlm 105 – 106.
[12]. Ibid., hlm 106.
[13]. Ibid., hlm. 110.